Pendahuluan
Dalam satu dekade terakhir, perangkingan universitas global seperti Times Higher Education (THE)[1], QS World University Rankings [2], dan Shanghai Ranking [3] telah menjadi sorotan utama dalam menentukan reputasi akademik sebuah perguruan tinggi. Tak jarang, peringkat menjadi tolok ukur utama yang menentukan citra sebuah universitas di mata publik, calon mahasiswa, dan mitra internasional. Namun, di balik kemegahan angka dan posisi di papan peringkat itu, muncul pertanyaan kritis: apakah perangkingan global benar-benar menggambarkan kualitas perguruan tinggi secara utuh? Dan, jika tidak, haruskah sebuah universitas memilih keluar dari sistem tersebut?
Makna Perangkingan Global: Antara Indikator dan Realitas
Perangkingan global dibangun atas dasar seperangkat indikator yang dirancang oleh lembaga pemeringkat internasional. Misalnya, QS menempatkan sekitar 30 % bobot pada reputasi akademik, 15 % pada reputasi pemberi kerja, 10 % pada rasio dosen-mahasiswa, 20 % pada sitasi per dosen, dan 10 % pada proporsi staf dan mahasiswa internasional [2]. Sementara THE menempatkan masing-masing kira-kira 29,5 % pada pengajaran, 29 % pada lingkungan riset, dan 30 % pada kualitas riset (sitasi/dampak), dengan sisanya untuk unsur internasional dan industri [1].
Namun, indikator-indikator tersebut tidak selalu mencerminkan keragaman konteks pendidikan tinggi di setiap negara. Perguruan tinggi di negara berkembang seringkali memiliki tantangan berbeda—terkait pendanaan, bahasa publikasi, hingga fokus riset yang lebih bersifat aplikatif dan lokal. Dalam situasi seperti ini, universitas bisa tampak “kurang unggul” secara global meskipun berkontribusi besar terhadap masyarakat dan pembangunan daerah.
Dengan kata lain, perangkingan global bukanlah cerminan mutlak kualitas universitas, melainkan hasil dari paradigma pengukuran tertentu yang menempatkan universitas dalam kerangka kompetisi global, sering kali berbasis pada sistem nilai Barat.
Mengapa Perangkingan Masih Penting
Meskipun penuh kritik, perangkingan global tidak sepenuhnya keliru. Dalam dunia akademik yang semakin terhubung, perangkingan dapat menjadi sarana untuk:
- Benchmarking – mengetahui posisi relatif universitas dibandingkan dengan institusi lain, sehingga dapat menjadi dasar perbaikan internal.
- Meningkatkan visibilitas internasional – universitas dengan peringkat tinggi lebih mudah menarik mitra kolaborasi dan mahasiswa internasional.
- Mendorong tata kelola berbasis data – indikator yang digunakan mendorong universitas untuk memperbaiki sistem pelaporan, publikasi ilmiah, dan akuntabilitas kinerja.
Namun, penting untuk diingat bahwa tujuan utama perangkingan adalah informasi, bukan dominasi. Ia seharusnya menjadi alat refleksi, bukan obsesi.
Ketika Perangkingan Menjadi Tujuan
Masalah muncul ketika perangkingan dijadikan tujuan utama, bukan alat bantu. Dalam beberapa kasus, universitas tergoda untuk mengorbankan nilai-nilai akademik demi mengejar skor tertentu: memaksa publikasi tanpa memperhatikan kualitas, memprioritaskan riset yang “ramah indeks” daripada riset yang relevan bagi masyarakat, hingga menekan dosen untuk menghasilkan luaran tanpa dukungan memadai.
Hal ini tidak hanya berpotensi terjadi pada perangkingan global, tetapi pada semua perangkingan termasuk perangkingan Sinta.
Akibatnya, universitas berisiko kehilangan jati diri—dari lembaga akademik pencetak perubahan sosial menjadi mesin pengumpul skor dengan berbagai praktek pabrikasi.
Haruskah Universitas Keluar dari Sistem Perangkingan?
Keputusan untuk keluar dari sistem perangkingan global harus diambil dengan sangat hati-hati dan melalui pertimbangan yang matang. Beberapa universitas ternama dunia memang pernah menyatakan ketidakikutsertaan mereka dalam sistem perangkingan tertentu dengan alasan yang beragam. Misalnya, Sorbonne University memilih keluar karena menilai metode perangkingan tidak sejalan dengan nilai dan visi akademiknya [4], sementara University of Zurich memutuskan hal serupa karena menganggap metodologi penilaiannya tidak mencerminkan kualitas pendidikan yang sesungguhnya [5]. Langkah tersebut dilakukan bukan karena mereka menolak transparansi atau evaluasi, melainkan karena mereka sudah memiliki reputasi internasional yang kuat dan tidak lagi bergantung pada perangkingan untuk menunjukkan kualitasnya. Namun, penting diingat bahwa keputusan seperti ini hanya mungkin dilakukan oleh universitas yang telah mapan dan diakui secara global—bukan oleh universitas yang masih dalam tahap berkembang dan membutuhkan eksposur internasional untuk tumbuh.
Bagi universitas di negara berkembang, keluar dari perangkingan global dapat menimbulkan beberapa dampak negatif. Pertama, universitas kehilangan visibilitas internasional sehingga berkurang peluang kolaborasi, pertukaran akademik, dan pendanaan dari lembaga global yang sering menggunakan perangkingan sebagai acuan. Kedua, kepercayaan publik dan mitra industri dapat menurun, karena perangkingan sering dianggap sebagai simbol kualitas dan reputasi. Ketiga, universitas kehilangan alat ukur eksternal yang membantu memantau kemajuan dan mendorong budaya mutu berbasis data. Akibatnya, perbaikan tata kelola dan produktivitas riset bisa melambat. Karena itu, yang lebih tepat bukanlah keluar, melainkan menata ulang makna dan strategi dalam menghadapi perangkingan.
Memaknai Perangkingan dengan Bijak
Sikap yang ideal adalah kritis namun konstruktif. Artinya:
- Gunakan perangkingan sebagai cermin, bukan tujuan. Hasil perangkingan bisa menjadi bahan refleksi untuk memperbaiki kinerja akademik, riset, dan tata kelola.
- Bangun indikator nasional dan perguruan tinggi yang kontekstual. Indonesia perlu terus memperkuat sistem pemeringkatan internal yang lebih memperhatikan kontribusi sosial, inovasi lokal, dan dampak nyata perguruan tinggi bagi pembangunan. Hal ini sebetulnya sudah sejalan dengan adanya slogan Diktisantek Berdampak.
- Pertahankan identitas dan misi universitas. Tujuan hakiki perguruan tinggi bukanlah sekadar mendaki tangga peringkat dunia, melainkan mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Peringkat hanyalah konsekuensi, bukan tujuan. Karena itu, universitas harus terus berkarya, berinovasi, dan berkontribusi sesuai jati dirinya. Jika misi utama tersebut tercapai dengan sungguh-sungguh—melalui mutu pendidikan, riset yang relevan, dan pengabdian yang berdampak—maka berbagai sistem perangkingan pada akhirnya akan secara alami memberikan pengakuan terhadap capaian tersebut. Arah perguruan tinggi jangan disetir oleh perangkingan, tetapi dituntun oleh nilai, visi, dan tanggung jawab moral untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta memajukan peradaban. Peringkat boleh menjadi cermin, namun kompas sejati pendidikan tinggi adalah integritas, kemanfaatan, dan keberlanjutan kontribusinya bagi masyarakat.
Penutup
Perangkingan global adalah bagian dari ekosistem pendidikan tinggi modern—tidak untuk ditolak sepenuhnya, tetapi juga tidak untuk dituhankan. Universitas yang bijak adalah universitas yang mampu melihat perangkingan sebagai alat evaluasi eksternal, bukan sebagai penentu eksistensi. Yang lebih penting dari sekadar posisi di papan peringkat adalah seberapa besar universitas memberi makna bagi kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan bangsa. Pendidikan tinggi sejatinya memiliki tujuan yang jauh lebih luhur daripada sekadar prestise global, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan melahirkan generasi yang berintegritas, berdaya saing, serta berkontribusi nyata bagi kemanusiaan. Dengan demikian, bukan soal keluar atau bertahan dalam perangkingan global, tetapi bagaimana universitas tetap berdaulat dalam menentukan arah dan makna pendidikan tinggi yang berpijak pada nilai-nilai bangsa dan kemaslahatan masyarakat.
Referensi:
- https://www.timeshighereducation.com
- https://www.topuniversities.com/qs-world-university-rankings
- https://www.shanghairanking.com/
- https://www.sorbonne-universite.fr/en/news/sorbonne-university-decides-withdraw-times-higher-education-world-university-rankings
- https://www.news.uzh.ch/en/articles/news/2024/rankings.html
Penulis: Marzuki, Dosen Departemen Fisika, Universitas Andalas. Penulisan dibantu oleh AI dengan beberapa penyesuaian.